Penulis : Adi Firmansyah, Maulana Syikha Firdaus, M. Farhan Furniansyah, Hanan
Dosen : Dr. Eti Mul Erowati, S.H., M.Hum.
Mahasiswa, Dosen Fakultas Hukum Unwiku Purwokerto
Pendahuluan
Poligami atau menikah dengan lebih dari seorang istri bukan merupakan masalah baru. Poligami sudah ada sejak dahulu kala, di berbagai penjuru dunia. Bangsa Arab sudah melakukan poligami bahkan sejak sebelum Islam datang. Kitab-Kitab Suci agama-agama Samawi dan buku-buku sejarah menyebutkan bahwa di kalangan para pemimpin maupun orang-orang awam di setiap bangsa, bahkan di antara para Nabi sekalipun, poligami bukan merupakan hal yang asing ataupun tidak disukai.
Syarat utama dalam berpoligami adalah adil terhadap istri dalam nafkah lahir dan batin. Jangan sampai salah satunya tidak diberi cukup nafkah, maka hal itu adalah kezaliman. Yang menjadi syarat utama dalam pertimbangan poligami adalah masalah kemampuan finansial. Bagaimanapun ketika seorang suami memutuskan untuk menikah lagi yang harus dipikirkan adalah mengenai tanggung jawab nafkah dan kebutuhan hidup untuk 2 (dua) keluarga sekaligus. Nafkah tentu saja tidak berhenti sekedar bisa memberi makan dan minum untuk istri dan anak, tapi lebih dari itu bagaimana dia merencanakan anggaran kebutuhan hidup sampai kepada masalah pendidikan yang layak, rumah dan semua kebutuhan lainnya. Ketentuan mengenai keadilan hanya secara umum saja karena sangat sulit seseorang untuk dapat berlaku adil secara empiris. Misalnya masalah pembagian jatah menginap. Yang dihitung adalah malamnya atau menginapnya, bukan hubungan seksualnya. Untuk suatu keadilan tidak secara khusus diatur karena akan kesulitan menghitung dan menimbangnya.
Pengaturan Poligami dalam KHI
Kompilasi Hukum Islam sebagaimana Undang-Undang Perkawinan juga menganut asas monogami terbuka dalam perkawinan, artinya jika suami tidak mampu berlaku adil terhadap hak-hak istri bila lebih dari seorang maka cukup seorang istri saja. Pasal-pasal mengenai poligami dalam Kompilasi Hukum Islam memberikan berbagai persyaratan yang ketat agar pelaku poligami tidak sewenang-wenang menerapkannya.
Pengaturan poligami dalam Kompilasi Hukum Islam tedapat dalam Pasal 55 sampai Pasal 59 KHI. Pasal 55 mengatakan bahwa beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang istri dengan syarat utama suami mampu berlaku adil kepada istri-istri dan anak-anaknya. Lebih lanjut dalam Pasal 56 KHI dikatakan bahwa suami yang akan beristri lebih dari seorang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama. Selain mendapatkan izin dari Pengadilan Agama seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang terlebih dahulu harus mendapat persetujuan istri atau istri-istri dan adanya kepastian bahwa suami mampu berlaku adil serta mampu memenuhi kebutuhan istri-istri dan anak-anaknya.
Ketentuan Pembagian Waris Istri dalam Perkawinan Poligami menurut KHI
Ketentuan pembagian waris istri dalam perkawinan poligami menurut Kompilasi Hukum Islam adalah sesuai ketentuan pasal 180 KHI maka bagian masing-masing istri adalah sama besar, yaituh 1/4 bagian jika suami tidak meninggalkan anak dan 1/8 bagian jika suami meninggalkan anak. Bagian-bagian ini dibagi sejumlah istri. Berdasarkan ketentuan pasal 86 KHI tidak ada pencampuran harta karena perkawinan. Adapun mengenai harta bersama menurut ketentuan pasal 94 KHI bahwa harta bersama dari perkawinan seorang suami yang memiliki istri lebih dari seorang adalah terpisah dan berdiri sendiri, harta ini dihitung mulai dari akad perkawinannya. Berdasarkan pasal 190 KHI bahwa setiap istri berhak atas harta gono-gini dari perkawinannya dengan suami dan seluruh bagian pewaris menjadi hak para ahli warisnya.
Contoh Kasus:
Seorang suami bernama Aldi meninggal dengan meninggalkan seorang istri dari perkawinan pertama bernama Sherlyna, seorang istri dari perkawinan kedua bernama Yunita, dan seorang anak laki-laki dari perkawinan pertama bernama El. Harta bawaan yang diperoleh Aldi sebelum menikah dengan istri pertamanya adalah Rp 400.000.000,00. Harta bersama dengan istri pertama adalah Rp 600.000.000,00 (Harta bersama dengan istri pertama ini merupakan harta yang diperoleh sejak pernikahan suami dengan istri pertama sampai meninggalnya suami (setelah suami menikah dengan istri kedua), sehingga harta bersama dengan istri kedua tidak perlu dibagi tiga.) dan harta bersama dengan istri kedua adalah Rp 200.000.000,00. Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Sebelum menentukan pembagian waris maka terlebih dahulu harus ditentukan harta waris. Berdasarkan ketentuan pasal 86 KHI tidak ada pencampuran harta karena perkawinan sehingga harta bawaan suami (Aldi) sejumlah Rp 400.000.000,00 tidak perlu dibagi dengan istri terlebih dahulu dan menjadi harta waris. Kemudian berdasarkan ketentuan pasal 94 KHI bahwa harta bersama dari perkawinan suami yang menikah lebih dari seorang istri masing-masing terpisah dan berdiri sendiri, dihitung sejak akad perkawinannya. Kemudian berdasarkan ketentuan pasal 190 KHI bahwa pewaris yang meninggalkan istri lebih dari seorang, masing-masing istri berhak atas harta gono-gini dan bagian suami menjadi milik ahli waris. Sehingga harta bersama dari masing-masing perkawinan dibagi dua antara suami dan istri kemudian bagian suami menjadi harta waris.
Harta bersama dari perkawinan pertama = 1/2 x Rp 600.000.000,00 = Rp 300.000.000,00 (untuk masing-masing suami dan istri pertama)
Harta bersama dari perkawinan kedua = 1/2 x Rp 200.000.000,00 = Rp 100.000.000,00 (untuk masing-masing suami dan istri kedua)
Sehingga harta warisnya adalah harta bawaan suami ditambah harta bersama suami dari perkawinn pertama ditambah harta bersama suami dari perkawinan kedua.
Harta waris = Rp 400.000.000,00 + Rp 300.000.000.000,00 + Rp 100.000.000,00
= Rp 800.000.000,00
Setelah diketahui harta warisnya maka dapat ditentukan berapa bagian masing-masing ahli waris. Berdasarkan ketentuan pasal 180 KHI maka istri mendapatkan 1/8 bagian karena suami meninggalkan anak. 1/8 bagian ini untuk dua orang istri. Jadi bagian masing-masing istri adalah 1/16 bagian.
Sherlyna (istri pertama) = 1/16 x Rp 800.000.000,00 = Rp 50.000.000,00
= Rp 50.000.000,00 + harta bersama
= Rp 50.000.000,00 + Rp 300.000.000,00
= Rp 350.000.000,00
Yunita (istri kedua) = 1/16 x Rp 800.000.000,00 = Rp 50.000.000,00
= Rp 50.000.000,00 + harta bersama
= Rp 50.000.000,00 + Rp 100.000.000,00
= Rp 150.000.000,00
El (Asabah) = 14/16 x Rp 800.000.000,00 = Rp 700.000.000,00
Kesimpulan
Poligami dalam Islam merupakan sebuah solusi bagi sebuah kondisi darurat yang membuat seseorang harus melakukan demikian. Sebelum melakukan perkawinan poligami sebaiknya masing-masing suami dan istri terlebih dahulu mengetahui mengenai ketentuan harta perkawinan mulai dari harta bersama sampai pembagian warisnya.
Seorang istri kedua dan seterusnya apabila ingin hak waris dalam perkawinan poligami terlindungi, maka seorang ia harus memiliki bukti otentik yaitu antara lain surat nikah dan akta kelahiran anak.
Daftar Pustaka
Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Esther Masri, Poligami dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), “Jurnal Krtha Bhayangkara Vol. 13 No.2 Desember 2019”.
MuhammadhBagir al-Habsyi, Fiqih Praktis Menurut Al-Qur‟an, as-Sunah, dan Pendapat Para Ulama (Bandung: Mizan Media Utama, tt).