Penulis : Firli Handika, Algo Azhari Vernando, Fauzan Ardhiansyah, Hasan Arrosyid
Dosen : Dr. Eti Mul Erowati, S.H., M.Hum.
Mahasiswa, Dosen Fakultas Hukum Unwiku Purwokerto
Pendahuluan
Perkawinan merupakan ikatan suci antara seorang pria dan seorang wanita, yang saling mencintai dan menyayangi satu sama lain. Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang selanjutnya disebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria engan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila dilihat dari aspek hukum, perkawinan merupakan suatu ikatan perjanjian antara seorang laki-laki dan perempuan yang akan melakukan suatu perkawinan.
Perkawinan mempunyai arti yang sangat penting dalam kehidupan manusia perseorangan maupun kelompok, sehingga dengan perkawinan itu manusia akan menjadi berubah dan perubahan tersebut seolah-olah sudah menjadi kodrat alam. Bahwa dua orang manusia dengan jenis kelamin yang berbeda, seorang perempuan dan seorang laki-laki ada daya saling menarik satu sama lain untuk hidup bersama. [1]
Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun di masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu di dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama.
Oleh karena itu perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang ideal dan bahagia, sesuai pula dengan hak azasi manusia maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak manapun, (Pasal 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974)
Ketentuan-ketentuan di dalam pasal ini, tidak berarti mengurangi syarat-syarat perkawinan menurut ketentuan hukum perkawinan yang sekarang berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang ini sebagaimana dimaksud di dalam pasal 2 ayat (1) adalah sebagai berikut :
“perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masong agamanya dan kepercayaannya”.
Tujuan perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan nomor 1 Tahun 1974 adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. Membentuk keluarga berarti bertujuan meneruskan keturunan memelihara dan mendidik anak-anak serta bertanggung jawab dan kasih sayang.
Jadi pada dasarnya tujuan perkawinan baik menurut Pasal 26 KUH Perdata dan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Membentuk keluarga yang bahagia dan kekal dapat diartikan bahwa perkawinan harus berlangsung seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja.
Pada dasarnya melakukan perkawinan itu adalah bertujuan untuk selama-lamanya, tetapi adakala mengakibatkan perkawinan itu putus. Putusan perkawinan sebagaimana Undang-undang nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Menurut Pasal Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, perkawinan dapat putus karena: a. kematian, b. perceraian dan c. atas keputusan Pengadilan.
Di dalam Undang-undang nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adanya suatu asas bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia, kekal dan sejahtera, dengan pengertian bahwa perkawinan itu haruslah berlangsung seumur hidup.
Dalam kenyataanya memang banyak pasangan suami istri yang tidak mampu mengatasi berbagai macam cobaan yang menghampiri kehidupan rumah tangga mereka. Hal ini mengakibatkan pecahnya mahligai perkawinan yang telah dibangun dan berujung dengan perceraian.
Perceraian dipersulit oleh undang-undang perkawinan, dimaksudkan untuk memperkecil terjadinya perceraian, jadi pada prinsipnya itu diperbolehkan tetapi harus ada alasan yang kuat. Adapun tata cara seorang suami yang hendak menalak istri harus memenuhi syarat-syarat yang telah diatur dalam Pasal 14 sampai dengan 18 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan alasannya terdapat dalam Pasal 39 ayat (2) undang-undang No. 9 Tahun 1975.
Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menentukan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan yang berwenang setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ditentukan untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak dapat lagi hidup rukun sebagai suami istri.
Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami isteri tidak akan rukun kembali. Meskipun dalam agama Islam perceraian telah dianggap sah apabila diucapkan seketika itu oleh sang suami, namun harus tetap dilakukan di depan pengadilan. Tujuannya untuk melindungi segala hak dan kewajiban yang timbul sebagai akibat hukum atas perceraian tersebut.
Adapun alasan-alasan perceraian berdasarkan Pasal 39 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah sebagai berikut :
- Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk/pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar kemauannya.
- Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau hal lain diluar kemauannya;
- Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
- Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
- Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri;
- Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangganya.
Berdasarkan alasan perceraian sebagaimana yang telah disebutkan di atas, pada Putusan Pengadilan Negeri Purbalingga Nomor : 1929/Pdt.G/ 2022/PN Pbg, terdapat kasus dimana kehidupan rumah tangga penggugat dan tergugat telah goyah karena setelah hidup bersama penggugat dan tergugat sering terjadi perselisihan sehingga tergugat meninggalkan penggugat lebih dari 3 (tiga) tahun.
Penggugat dengan Tergugat telah terikat dalam suatu ikatan perkawinan yang sah di Kantor Urusan Agama Kabupaten Purbalingga pada tahun 2016, setelah menikah Penggugat dan Tergugat hidup bersama selama 3 (tiga) tahun, telah dikaruniahi 2 (dua) orang anak, pada mulanya rumah tangga Penggugat dan Tergugat rukun dan harmonis namun sejak sekitar bulan Januari 2019 rumah tangga mulai retak, sering terjadi perselisihan dan pertengkaran mulut disebabkan oleh faktor ekonomi tergugat sejak bulan Juni 2019 sudah tidak pernah lagi memberikan biaya hidup (nafkah) kepada Penggugat.
Setelah gugatan diajukan penggugat, Pengadilan Negeri Purbalingga telah melakukan pemanggilan, dan tergugat tidak hadir dalam persidangan sehingga gugatan penggugat dapat diperiksa dan diputuskan dengan verstek
[1] Wirjono Prodjodikoro, 2001, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung.hlm.7
Link download: Disini