
KabarPurbalingga.com — Fenomena mengkhawatirkan tengah terjadi di Purbalingga. Badan Narkotika Nasional (BNN) setempat mencatat, dari 33 orang yang menjalani rehabilitasi sepanjang tahun ini, hampir 80 persennya masih berstatus pelajar.
Ironisnya, sebagian besar kasus bukan disebabkan narkotika jenis sabu atau ganja, melainkan obat penenang yang seharusnya hanya bisa ditebus dengan resep dokter. Obat-obatan itu justru bisa dibeli bebas di warung atau ruko tertentu dengan harga sangat murah.
“Cukup Rp10 ribu, sudah bisa dapat dua sampai tiga butir. Murah, mudah diakses, dan inilah yang membuat pelajar jadi sasaran empuk,” jelas Awan Pratama, Kepala Tim Rehabilitasi BNN Purbalingga.
Awan menambahkan, fenomena ini erat kaitannya dengan keberadaan warung yang populer disebut “Warung Aceh.” Dari luar tampak seperti warkop biasa, tapi diduga jadi tempat jualan obat terlarang semacam tramadol dan alprazolam.
“Ciri-cirinya, barang dagangan cuma sedikit, pembeli kebanyakan anak muda, dan lebih ramai saat malam,” ungkapnya.
Menariknya, banyak kasus terbongkar justru berkat kejelian guru Bimbingan Konseling (BK) di sekolah. Perubahan sikap siswa — seperti sering mengantuk, telat, lesu, atau bolak-balik izin ke toilet — jadi tanda awal yang dicurigai.
“Kalau pihak sekolah mengizinkan, kami langsung lakukan intervensi di tempat, agar siswa tidak perlu dibawa ke kantor BNN. Privasi mereka tetap terjaga,” tambah Awan.
Selain laporan sekolah, ada juga siswa yang datang sendiri atau didorong teman karena mulai merasakan dampak buruk obat-obatan tersebut.
Proses rehabilitasi biasanya berlangsung 8–12 kali pertemuan konseling. Namun, hasilnya tidak selalu instan. Lingkungan dan dukungan keluarga sangat menentukan apakah anak bisa benar-benar lepas dari jeratan obat.
“Kalau orang tua cuek, atau anak masih bergaul dengan lingkaran yang sama, kemungkinan kambuh itu besar. Karena itu, kami selalu libatkan keluarga,” tegas Awan.
Dari data BNN, mayoritas klien rehabilitasi tahun ini adalah pelajar SMP berusia 13–17 tahun. Alasan utamanya: ikut-ikutan teman sebaya.
“Usia SMP itu masa transisi, sangat rentan terbawa arus. Maka yang harus diperkuat adalah daya tolak mereka, agar tidak gampang terpengaruh,” jelas Awan.
Untuk pencegahan, BNN kini memilih cara-cara yang lebih dekat dengan anak muda, mulai dari sosialisasi lewat TikTok hingga jemput bola ke sekolah. Semuanya gratis.
“Rehabilitasi itu bukan aib. Justru langkah penyelamatan, supaya mereka tidak naik level jadi pengedar,” ujarnya.
Padahal, target rehabilitasi tahun ini hanya 20 klien. Namun, kenyataannya sudah tembus 33 kasus. Angka itu jadi alarm keras: penyalahgunaan obat penenang di kalangan remaja Purbalingga masih sangat serius.